PROYEK PENDIDIKAN NASIONAL

Pada bulan april tepatnya tanggal 10 – 16 april 2012 Dua siswi dari Indonesia, Christa Lorenzia Soesanto dan Natasha Sutedja, berhasil mencetak prestasi membanggakan pada European Girls Mathematical Olympiad (EGMO) 2012 di Murray Edwards College, Inggris. Christa (15 tahun) meraih Medali Perak dengan total skor 30, sedangkan Natasha (15 tahun) menyabet Medali Perunggu dengan skor 15. Kedua belia berbakat ini ikut berkompetisi ke EGMO di bawah pimpinan Anton Wardaja.

Kesusksesan kedua siswa tersebut tak pelak menjadi inspirasi siswa lainnya begitu juga para guru untuk melahirkan obsesi untuk menjadikan sekolah masing- masing unggul di Indonesia. Seluruh lampu tersorot melihat kesuksesan mereka. Persoalan di sekeliling kita ( pendidikan kita  yang mestinya jauh tersorot, menjadi gelap gulita. Perhatian masyarakat Indonesia tersedot pada kesuksesan kedua siswa .tersebut mengapa tidak? Dengan bangga menyabet gelar juara di olimpiade berkelas  Internasional itu merupakansuatu capaian  prestasi yang luar biasa. Perhatian Publik  tersorot pada pencapain  mereka, tapi tidak pada proses. Masyarakat pun luput melihat efek negative yang terbangun dari proses panjang menuju tangga juara. Mereka hanya merayakan hasil dengan gegap gempita.

Sekilas memang tidak ada yang salah pada kemenangan  anak-anak  bangsa kita  di ajang yang bergensi di olimpiade Internasional . namun menilik lebih dalam, capaian tersebut  menjadi pelarian dari banyak persoalan pendidikan nasional kita. Setitik kesuksesan di tengah lautan masalah pendidikan bangsa kita yang bisa membahagiakan para penyelenggara pendidikan, ketika itu juga para pemerintah bangga akan pencapaian anak bangsanya Yang sebenarnya topeng untuk pendidikan nasional kita. Bangga akan prestasi, bangga akan gelar dan bangga akan juara yang di dapat dari anak bangsa  padahal masih banyak sekolah- sekolah yang perlu dan sangat membutuhkan perubahan sekolah, perubahan infrastuktur dan yang laiinya dan itu harusnya menjadi sorotan pemerintah, tidak hanya segelintir orang yang mendapatkan prestasi yang perlu di bicarakan atau di banga- banggakan.

Saat ini memang pendidikan di  Indonesia terutama di sekolah- sekolah  mereka hanya memuja kompetisi. Gaya berfikir yang kompetitif sangat erat pada system persekolah di  Indonesia. Mungkin di mulai sebagai sekedar alat merangsang motivasi belajar atau kepercayaan diri siswa untuk mampu berkompetisi di tingkat nasional sampai tingkat internasional. Kata kompetitif sudah menjadi matra bagi sekolah untuk mendapatkan lirikan dari pihak luar dan pemerintah itu sendiri. Namun watak memuja kompetisi punya tugas lain. Ia bisa menenggelamkan dan mengalihkan perhatian publik dan praktek persekolahan  atau  bisa saja menngalihkan dan membangga- banggakan bawah pendidikan kita sudah maju dan mampu bersaing di dunia. Tak heran kita melihat pendidikan kita hanya bisa dirasakan oleh segelintir orang  tertentu saja mulai dari pembinaan, diseleksi sejara ketat yang kemudian mewakili bangsa Indonesia untuk beekompetisi, pulang membawa juara dan kemudian di bangga- bangkan oleh para pemerintah atas jerih payahnya bisa memberikan mendali untuk Indonesia itu lah yang Indonesia inginkan.

Namun yang  kita lihat pada kesempatan ini adalah apa sebenarnya efek dari semakin melebarnya daya jelajah anak-anak Indonesia  di ajang lomba olimpiade? Seperti yang disinggung pada bagian awal wacana yang berkembang di linkungan mereka menjadi kian menyempit. Orang seperti menemukan lomba- lomba tersebut sebagai  semacam “  jalan keluar “ atau lebih tepatnya jendela pelarian dari menumpuknya persoalan pendidikan di Indonesia.